Selasa, 15 Juli 2014

Cinta Dengan Tanda Tanya




Udara Jogja malam ini dingin. Biasanya tidak pernah sedingin ini. “Tumben”, pikirku. Pendingin ruangan sudah aku matikan sejak pagi. Bibir jendela kamar serasa sudah muak aku pandangi berjam-jam lamanya. Tidak, aku tidak melamun. Pikiranku hanya sedang buntu. Hingga saat ini, aku belum menemukan ujung maupun awalnya. Terlalu menggulung, kusut, rumit.
Masih jelas ingatan di benang-benang pikiranku, saat gadis berambut panjang pergi dari hadapanku dengan cermin air di matanya. Memori itu melekat seperti habis dioles dengan lem besi. Kuat.
Ah, bodoh.
Ku sulut satu batang berisi nikotin dan tar, kuhisap lalu kuhembuskan dalam-dalam.

***

Rara saat ini ada disampingku, memakai gaun berwarna pastel merah jambu dengan rambut gelombang berwarna ginger yang dibiarkan terurai. Dia cantik, sempurna, pikirku. Kedua tangannya saling mengait dan tatapannya lurus kedepan, khidmat memperhatikan pastur berbicara di depan altar. Tidak ada tempat yang lebih baik yang aku inginkan selain disamping perempuan yang sanggup membuat organ pemompa darah menjadi tak stabil. Aku sungguh menyukainya. Tidak, tergila-gila malah. Perlahan dia menoleh kearahku dan tersenyum bingung.
"Kenapa kamu merhatiin aku sebegitunya sih, Adit?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat, malu. Aku yakin di pipiku saat ini sedang ada semburat warna merah.
"Nggak apa-apa. Kamu cuma...cantik banget, Ra."
Rara tertawa kecil melihatku yang tiba-tiba canggung. Dia kembali membentangkan pandangannya ke depan sedangkan aku kembali menciptakan ilusi-ilusi dan pikiran di dunia egoku sendiri.
Satu persatu wujud seorang perempuan manis muncul dipikiranku, entah darimana. Awalnya samar, lalu makin jelas. Dia, Aura. Pelan-pelan pikiranku bergulat dengan perbandingan antara Aura dengan Rara. Mereka tidak jauh berbeda. Hanya saja,  semesta selalu bertindak di luar kendali manusia. Aku mencintai Aura. Aku mencintai Rara. Namun, apa yang aku tahu tentang cinta? Ya, cinta—perdebatan dari zaman Plato hingga kini yang tak pernah ada habisnya.
Ya, aku mencintai perempuan yang sedang berdoa di sampingku ini. Sementara di luar sana, ada perempuan yang memberikan segala cinta yang aku butuhkan. Namun, aku tak bisa memberikan apa yang ia butuhkan.
Ironis? Entahlah, tapi perasaan memang tidak pernah sederhana.
Aku kira aku cukup mengerti tentang gagasan cinta. Namun, setelahnya aku sadar bahwa aku hanyalah pura-pura mengerti untuk menyembunyikan ketidaktahuanku. Tapi jika cinta hanya berbatas tentang dua orang yang saling mencintai dan cinta mereka sama besarnya tanpa terhalang suatu apapun, maka itu bukan cinta. Itu hanya perasaan-perasaan temporer—tidak abadi—yang berlindung di balik sebuah idealisme akan sakit dan bahagia disaat yang bersamaan.
Cinta?

***

Menjadi bahagia itu sederhana. Sesederhana merelakan kalung kesayanganmu hilang ditelan lautan saat kau bermain dengan ombak.
Tidak ada pertaruhan tanpa resiko. Dan untuk jatuh cinta adalah pertaruhan yang paling agung.
Kata mereka, dalam hidup, kita harus bertemu dengan dua orang.
Pertama, orang yang kau cintai tapi tidak mencintaimu. Namun, hal itu bukan berarti ada sesuatu yang salah padamu atau Tuhan sedang membuatkanmu skenario kejam. Kau hanya sedang diberikan kesempatan untuk terlatih mengenal rasa sakit yang abstrak dan tajam, merelakan, lalu bangkit lagi.
Kedua, orang yang mencintaimu namun kau tidak mencintainya. Darinya, kau akan belajar bahwa dicintai sebanyak itu adalah anugerah. Dan bahwa merasa bahagia itu sederhana; merasa dihargai. Darinya, kau akan belajar bahwa kau tidak bisa memilih seseorang berdasarkan belas kasihan.
Sekarang, bayangkan kau menjadi aku, mana yang akan kau pilih? Membiarkan dirimu bersama orang yang mencintaimu namun kau tidak bisa bahagia bersamanya, atau bersama dengan orang yang kau cintai namun memberikanmu kebahagiaan tunggal?
Hidup kadang sederhana pula, pilihan-pilihannya lah yang membuatnya menjadi sulit. Dan saat ini aku hanya membiarkan diriku sendiri menjemput pahit dan getir kebimbangan.

Cinta? Cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar