Untukmu, yang tidak percaya dengan omong kosong dan kematian kebebasan
yang kerap kali mereka sebut dengan pernikahan
***
Hari itu Masa berada di garis pemisah antara laut dan pasir
yang diciptakan buih-buih ombak. Sedang langit asyik bercengkrama sendiri,
memuncratkan semburat nila dan warna bata karena penerangan langit malam sudah
berebut untuk waktu munculnya.
"Bangsat," lirihnya pelan. Ia ingin
berteriak pada garam-garam yang lengket di udara. Dibaliknya posisi topi
berwarna pagi yang sedari tadi menutup tengkuknya, kini ditariknya hingga
menutupi sebagian dahi.
"Kau hanya sekedar membuang-buang waktu saja
atau benar-benar menikmati senja?"
"Aku tidak suka senja," Masa sama sekali
tidak memalingkan wajahnya kearah pemilik suara yang tidak ada kerjaan
menyapanya di tempat seperti ini.
"Namaku Lalu," sapanya lagi.
Kali ini Masa menoleh dan menemukan seorang perempuan
berambut warna langit pukul tujuh berdiri tegap di sampingnya.
"Kau percaya dengan pernikahan, orang asing?"
Garis di dahi Masa berkerut sebentar. "Kenapa
tidak?"
Lalu tertawa. Tawanya tertelan berisik ombak di detik
kedua.
"Bagaimana denganmu, kau percaya dengan
pernikahan?"
"Hmm?" Lalu menarik otot wajahnya untuk
menciptakan senyum. "Tidak," lanjutnya.
"Kau pasti punya alasan bagus untuk itu."
"Menurutmu? Aku tidak percaya dengan selembar
kertas yang ditandatangani dan buku kecil yang distempel oleh seseorang
berjabatan penghulu ataupun apalah urusan hukum itu. Dan sebelumnya ada
kemungkinan yang menganga lebar bahwa kau tidak berakhir dengan orang yang
seharusnya bersamamu, bukan?"
Kerutan di dahi Masa makin menjadi. Gila, pikirnya.
"Aku melihat banyak orang yang masih saja
mencari permainan semalam disaat mereka memiliki seribu malam permainan dengan
orang yang telah disumpahnya sehidup semati. Aku rasa semua orang akan berada
di titik amoral itu."
"Menarik."
"Kau sudah menikah?"
"Pernikahanku yang seharusnya lusa, batal karena
tunanganku kembali dengan kekasih lamanya."
"Dan kau masih percaya dengan pernikahan?"
"Kenapa tidak?"
"Menarik."
"Menarik."
"Aku hanya tidak munafik bahwa aku akan
membutuhkan seseorang."
"Aku juga bukan seorang munafik. Aku hanya tidak
mengerti tentang gagasan makhluk paling cerdas seperti manusia untuk
menghabiskan waktunya hanya untuk bersama satu orang dengan satu kegiatan.
Menikah. Memiliki monster kecil yang keluar dari liang tempat di mana kau
pernah meletakkan kelaminmu. Kemudian mencari pembenaran atas rasa bosan
setelahnya di dalam kamar hotel bersama pemuas-pemuas nafsu berbayar. Dan juga
omong kosong yang mereka katakan setelah rahasianya terbongkar, demi menjaga
satu tempat tinggal yang akan terasa seperti tempat sampah."
"Dan kenapa kau berbicara ini denganku?"
Masa memotong kalimat Lalu. Pikirannya kosong sudah.
"Aku menyukai bicara dengan orang asing. Karena
orang asing tidak bisa menilai," Lalu menghela nafasnya sebentar. Wajah
dan rambut malamnya lengket oleh angin laut yang berpasir.
"Lanjutkan."
Lalu tertawa kecil. "Pernikahan itu adalah
kematian idealisme, orang asing. Kematian kebebasan. Kematian ego. Kematian
liberalisme dan kreatifitas. Kematian pikiran liar. Kuburan atas mimpi-mimpi.
Lalu mereka sebut sebagai tujuan cinta dan orang yang kau cintai berakhir
seharusnya. Benar-benar omong kosong."
Masa tidak berbicara lagi, pun Lalu. Pikirannya
tersapu suara gesekan pohon pinus dibelakangnya. Disilangkan tangannya dan
dihirupnya udara lamat-lamat. Sedang Lalu merentangkan tangannya, entah untuk
meregangkan otot atau hanya membiarkan angin berlari di pori-pori tubuhnya.
Kakinya menjauh perlahan.
"Mau ke mana kamu?"
Lalu berhenti untuk melihat Masa yang masih membiarkan
kaki telanjangnya diguyur ombak. "Mempersiapkan diri untuk pemberkatanku
dan kekasihku besok pagi."
Untuk terkahir kalinya, dahi Masa berkerut di balik
topinya.
"Ya, besok aku akan menikah, orang asing,"
lanjunya di sela-sela sungging bibirnya. Lalu berjalan lagi sampai di titik
mata Masa tidak dapat menemukannya.