Selasa, 21 April 2015

Masa Lalu


Untukmu, yang tidak percaya dengan omong kosong dan kematian kebebasan
yang kerap kali mereka sebut dengan pernikahan


***

Hari itu Masa berada di garis pemisah antara laut dan pasir yang diciptakan buih-buih ombak. Sedang langit asyik bercengkrama sendiri, memuncratkan semburat nila dan warna bata karena penerangan langit malam sudah berebut untuk waktu munculnya.

"Bangsat," lirihnya pelan. Ia ingin berteriak pada garam-garam yang lengket di udara. Dibaliknya posisi topi berwarna pagi yang sedari tadi menutup tengkuknya, kini ditariknya hingga menutupi sebagian dahi.
"Kau hanya sekedar membuang-buang waktu saja atau benar-benar menikmati senja?"
"Aku tidak suka senja," Masa sama sekali tidak memalingkan wajahnya kearah pemilik suara yang tidak ada kerjaan menyapanya di tempat seperti ini.
"Namaku Lalu," sapanya lagi.
Kali ini Masa menoleh dan menemukan seorang perempuan berambut warna langit pukul tujuh berdiri tegap di sampingnya.
"Kau percaya dengan pernikahan, orang asing?"
Garis di dahi Masa berkerut sebentar. "Kenapa tidak?"
Lalu tertawa. Tawanya tertelan berisik ombak di detik kedua.
"Bagaimana denganmu, kau percaya dengan pernikahan?"
"Hmm?" Lalu menarik otot wajahnya untuk menciptakan senyum. "Tidak," lanjutnya.
"Kau pasti punya alasan bagus untuk itu."
"Menurutmu? Aku tidak percaya dengan selembar kertas yang ditandatangani dan buku kecil yang distempel oleh seseorang berjabatan penghulu ataupun apalah urusan hukum itu. Dan sebelumnya ada kemungkinan yang menganga lebar bahwa kau tidak berakhir dengan orang yang seharusnya bersamamu, bukan?"
Kerutan di dahi Masa makin menjadi. Gila, pikirnya.
"Aku melihat banyak orang yang masih saja mencari permainan semalam disaat mereka memiliki seribu malam permainan dengan orang yang telah disumpahnya sehidup semati. Aku rasa semua orang akan berada di titik amoral itu."
"Menarik."
"Kau sudah menikah?"
"Pernikahanku yang seharusnya lusa, batal karena tunanganku kembali dengan kekasih lamanya."
"Dan kau masih percaya dengan pernikahan?"
"Kenapa tidak?"
"Menarik."
"Aku hanya tidak munafik bahwa aku akan membutuhkan seseorang."
"Aku juga bukan seorang munafik. Aku hanya tidak mengerti tentang gagasan makhluk paling cerdas seperti manusia untuk menghabiskan waktunya hanya untuk bersama satu orang dengan satu kegiatan. Menikah. Memiliki monster kecil yang keluar dari liang tempat di mana kau pernah meletakkan kelaminmu. Kemudian mencari pembenaran atas rasa bosan setelahnya di dalam kamar hotel bersama pemuas-pemuas nafsu berbayar. Dan juga omong kosong yang mereka katakan setelah rahasianya terbongkar, demi menjaga satu tempat tinggal yang akan terasa seperti tempat sampah."
"Dan kenapa kau berbicara ini denganku?" Masa memotong kalimat Lalu. Pikirannya kosong sudah.
"Aku menyukai bicara dengan orang asing. Karena orang asing tidak bisa menilai," Lalu menghela nafasnya sebentar. Wajah dan rambut malamnya lengket oleh angin laut yang berpasir.
"Lanjutkan."
Lalu tertawa kecil. "Pernikahan itu adalah kematian idealisme, orang asing. Kematian kebebasan. Kematian ego. Kematian liberalisme dan kreatifitas. Kematian pikiran liar. Kuburan atas mimpi-mimpi. Lalu mereka sebut sebagai tujuan cinta dan orang yang kau cintai berakhir seharusnya. Benar-benar omong kosong."
Masa tidak berbicara lagi, pun Lalu. Pikirannya tersapu suara gesekan pohon pinus dibelakangnya. Disilangkan tangannya dan dihirupnya udara lamat-lamat. Sedang Lalu merentangkan tangannya, entah untuk meregangkan otot atau hanya membiarkan angin berlari di pori-pori tubuhnya. Kakinya menjauh perlahan.
"Mau ke mana kamu?"
Lalu berhenti untuk melihat Masa yang masih membiarkan kaki telanjangnya diguyur ombak. "Mempersiapkan diri untuk pemberkatanku dan kekasihku besok pagi."
Untuk terkahir kalinya, dahi Masa berkerut di balik topinya.
"Ya, besok aku akan menikah, orang asing," lanjunya di sela-sela sungging bibirnya. Lalu berjalan lagi sampai di titik mata Masa tidak dapat menemukannya.