Minggu, 14 Juni 2015

Aku Rindu, Ucapnya

"aku kangen kamu."


***


Lucu adalah ketika kau menemukan sebuah pesan singkat muncul di layar smartphone milikmu dengan nama seseorang yang tak asing berisi kalimat rindu sementara ia sedang sibuk merencanakan akhir pekan yang istimewa dengan orang asing lain yang dipikirnya berpotensial menjadi orang istimewa juga; hal yang akhirnya aku temukan setelah kau dan aku beranjak tak lagi menjadi kita yang utuh. Setelah aku sadar sudah semilyar menit aku habiskan untuk membuatmu betah berlama-lama untuk berada dalam lingkup prosaku.

Tidak, aku tidak mencoba membencimu setelahnya. Mungkin aku hanya tidak bisa mengerti dari sudut pandangmu bahwa kau sebenarnya tidak menginginkan kita, tidak menginginkan hubungan yang biasa-biasa saja bersamaku. Atau mungkin aku hanya kurang paham bahwa sifat liar seseorang tidaklah bisa dijinakkan begitu saja walaupun dengan kesungguhan.

Begitu banyak ketidak-mengertian yang aku simpulkan. Tapi, aku yakin hal-hal itu hanyalah karena aku yang kurang cukup membuatmu bahagia untuk sekedar berlama-lama tinggal, karena mencoba mengingatkanmu akan segala lembar gambar perjalanan kita adalah hal yang sangat sia-sia.

Tidak, aku pun tidak begitu saja akan berhenti mencintaimu seperti kau yang dengan luar biasanya menuliskan itu sebagai jawaban dari rasa penasaran manusia-manusia ingin tahu di sekitarmu; berusaha mendapatkan pengakuan bahwa kau sudah sepenuhnya pulih dari kesakitan-kesakitan yang kau ciptakan sendiri – yang kau limpahkan padaku tentunya.

Tidak, tidak juga aku mendoakanmu dengan doa buruk yang kau pun tidak akan bisa menduganya. Tidak juga aku menceritakan keburukanmu pada mereka-mereka yang seperti singa, lapar akan cerita perselisihan kita selayaknya hal itu adalah daging rusa mentah. Setidaknya kau bisa bernafas karena bukan aku yang mengikatkan tali jerat pada tenggorokan kita, melainkan dirimu sendiri.

Aku hanya tidak mengerti akar yang bersemayam di pikiran-pikiran picikmu itu, yang aku yakini tidak seorangpun yang mengerti juga. Aku juga tidak mengerti pergulatan bodoh apa yang sedang logika dan keinginan bawah sadarku sedang lakukan, karena jelaslah aku masih membiarkan kau menggambar lebih banyak luka lagi.


Hingga hari ini.


Selasa, 21 April 2015

Masa Lalu


Untukmu, yang tidak percaya dengan omong kosong dan kematian kebebasan
yang kerap kali mereka sebut dengan pernikahan


***

Hari itu Masa berada di garis pemisah antara laut dan pasir yang diciptakan buih-buih ombak. Sedang langit asyik bercengkrama sendiri, memuncratkan semburat nila dan warna bata karena penerangan langit malam sudah berebut untuk waktu munculnya.

"Bangsat," lirihnya pelan. Ia ingin berteriak pada garam-garam yang lengket di udara. Dibaliknya posisi topi berwarna pagi yang sedari tadi menutup tengkuknya, kini ditariknya hingga menutupi sebagian dahi.
"Kau hanya sekedar membuang-buang waktu saja atau benar-benar menikmati senja?"
"Aku tidak suka senja," Masa sama sekali tidak memalingkan wajahnya kearah pemilik suara yang tidak ada kerjaan menyapanya di tempat seperti ini.
"Namaku Lalu," sapanya lagi.
Kali ini Masa menoleh dan menemukan seorang perempuan berambut warna langit pukul tujuh berdiri tegap di sampingnya.
"Kau percaya dengan pernikahan, orang asing?"
Garis di dahi Masa berkerut sebentar. "Kenapa tidak?"
Lalu tertawa. Tawanya tertelan berisik ombak di detik kedua.
"Bagaimana denganmu, kau percaya dengan pernikahan?"
"Hmm?" Lalu menarik otot wajahnya untuk menciptakan senyum. "Tidak," lanjutnya.
"Kau pasti punya alasan bagus untuk itu."
"Menurutmu? Aku tidak percaya dengan selembar kertas yang ditandatangani dan buku kecil yang distempel oleh seseorang berjabatan penghulu ataupun apalah urusan hukum itu. Dan sebelumnya ada kemungkinan yang menganga lebar bahwa kau tidak berakhir dengan orang yang seharusnya bersamamu, bukan?"
Kerutan di dahi Masa makin menjadi. Gila, pikirnya.
"Aku melihat banyak orang yang masih saja mencari permainan semalam disaat mereka memiliki seribu malam permainan dengan orang yang telah disumpahnya sehidup semati. Aku rasa semua orang akan berada di titik amoral itu."
"Menarik."
"Kau sudah menikah?"
"Pernikahanku yang seharusnya lusa, batal karena tunanganku kembali dengan kekasih lamanya."
"Dan kau masih percaya dengan pernikahan?"
"Kenapa tidak?"
"Menarik."
"Aku hanya tidak munafik bahwa aku akan membutuhkan seseorang."
"Aku juga bukan seorang munafik. Aku hanya tidak mengerti tentang gagasan makhluk paling cerdas seperti manusia untuk menghabiskan waktunya hanya untuk bersama satu orang dengan satu kegiatan. Menikah. Memiliki monster kecil yang keluar dari liang tempat di mana kau pernah meletakkan kelaminmu. Kemudian mencari pembenaran atas rasa bosan setelahnya di dalam kamar hotel bersama pemuas-pemuas nafsu berbayar. Dan juga omong kosong yang mereka katakan setelah rahasianya terbongkar, demi menjaga satu tempat tinggal yang akan terasa seperti tempat sampah."
"Dan kenapa kau berbicara ini denganku?" Masa memotong kalimat Lalu. Pikirannya kosong sudah.
"Aku menyukai bicara dengan orang asing. Karena orang asing tidak bisa menilai," Lalu menghela nafasnya sebentar. Wajah dan rambut malamnya lengket oleh angin laut yang berpasir.
"Lanjutkan."
Lalu tertawa kecil. "Pernikahan itu adalah kematian idealisme, orang asing. Kematian kebebasan. Kematian ego. Kematian liberalisme dan kreatifitas. Kematian pikiran liar. Kuburan atas mimpi-mimpi. Lalu mereka sebut sebagai tujuan cinta dan orang yang kau cintai berakhir seharusnya. Benar-benar omong kosong."
Masa tidak berbicara lagi, pun Lalu. Pikirannya tersapu suara gesekan pohon pinus dibelakangnya. Disilangkan tangannya dan dihirupnya udara lamat-lamat. Sedang Lalu merentangkan tangannya, entah untuk meregangkan otot atau hanya membiarkan angin berlari di pori-pori tubuhnya. Kakinya menjauh perlahan.
"Mau ke mana kamu?"
Lalu berhenti untuk melihat Masa yang masih membiarkan kaki telanjangnya diguyur ombak. "Mempersiapkan diri untuk pemberkatanku dan kekasihku besok pagi."
Untuk terkahir kalinya, dahi Masa berkerut di balik topinya.
"Ya, besok aku akan menikah, orang asing," lanjunya di sela-sela sungging bibirnya. Lalu berjalan lagi sampai di titik mata Masa tidak dapat menemukannya.

Senin, 02 Maret 2015

Kardigan Berwarna Pagi

Aku hanya rindu. Rindu hingga sebuah pesan singkat yang hampir aku jadikan sebuah draft itu terkirim dengan lancarnya. Waktu yang aku habiskan untuk sekedar merindui suaranya tidak lebih lama dibanding waktu yang aku habiskan untuk menunggu kepastian.  Siapa yang menyukai ketidakpastian? Tidak ada bukan? Sama sepertiku.
Tak berselang lama aku mendengar ketukan pelan di daun pintu kamarku. Dia yg mengenakan kardigan berwarna pagi yang masih membiru muda dengan menakjubkan, berdiri tepat didepanku saat aku membuka pintu untuk mempersilahkan dia masuk. Rasanya tidak ada kata lain yang bisa aku sebutkan untuk menggambarkan wajahnya yang sendu tanpa make-up itu selain kata cantik, seperti biasanya. Rambut hitam lurusnya tergerai, indah. Serta tubuhnya yang semampai itu mampu membuatku takjub setiap waktu aku memperhatikannya.

***

"Aku harus balik," katanya memecah sebuah sunyi. Suaranya terdengar segan.
"Tapi kamu baru aja sebentar," sanggahku. Aku sudah tidak melihatnya lebih dari dua minggu dan dua jam ini waktu yang sangat kurang untuk membalas kekosongan waktu itu. Aku ingin lebih banyak waktu lagi.
"Tapi ini udah mau maghrib."
Aku menghela nafas. Ya, matahari sudah hampir tidur, pikirku. Lalu ku kecup sedikit ujung bibirnya, ku peluk tubuhnya erat. Seketika aroma tubuhnya yang mampu membuatku makin tidak bisa melepaskannya lagi itu menyeruak. "I love you," kataku pelan.
"I know you didn't meant to said that."
"I meant it."
Gantian dia yang menghela nafas, berat. "You will always be my best man."
The best man ain't enough, batinku refleks menjawab. Tapi alih-alih mengeluarkan kalimat yang sudah ku rangkai itu, aku malah memeluknya lagi.
"Okay. Well.. lagian kamu juga sudah pasti punya..."
"Nggak. Nggak ada," belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotongnya.
"Maaf aku tadi lancang."
"It's okay," dia tersenyum simpul, "kamu juga bukannya lagi deket sama seseorang?" lanjutnya.
"No. There's no someone. It's always you, it's always been you."
Dia menatapku, datar. Lalu beberapa belas detik kemudian dia beranjak dari ubin putih dingin yang dijadikannya alas duduk selama beberapa jam. Dia pamit pulang dan aku memperhatikan punggungnya yang bergerak menjauh di lorong yang agak gelap.

***

Aku tidak pernah meminta apapun selain lebih dari ini. Selain kekecewaanku tentang dia yang akhirnya memilih sahabatku sejak kita duduk di bangku sekolah dan memakai seragam putih biru itu. Berada tak lebih dari posisi ini pun aku sudah cukup bahagia. Pecundang? Bukan. Aku hanya tidak ingin merusak apa yang sudah memberikannya kebahagiaan seperti saat ini.

Selesai, pikirku. Menjadi lelaki terbaik mungkin akan terasa cukup untuk beberapa orang, namun tidak untukku. Aku hanya lelah menjadi pundak sandaran wanita yang aku puja selama beberapa tahun terakhir ini. Aku bosan menjadi seseorang yang selalu ada disaat dia membutuhkanku, sedang akupun hanya sebatas bagai kopi hitam yang tidak diinginkannya lagi saat dingin. Jika cinta sesederhana memberikan hal-hal terbaik dan tidak perlu meminta bahkan mengharapkan sebuah balasan, berapa banyak hal lagi yang harus aku beri hingga keberadaanku nampak di matanya? Entah berapa lama lagi sanggup aku korbankan waktu untuk menatap kepastian kosong. Hatiku tidak berada disini untuk hati yang tidak berada untukku. Tapi dia terlanjur menempati ruang tertinggi, yang pada entah siapa akan aku berikan lagi nanti. Atau, tidak akan pernah aku berikan.