Senin, 02 Maret 2015

Kardigan Berwarna Pagi

Aku hanya rindu. Rindu hingga sebuah pesan singkat yang hampir aku jadikan sebuah draft itu terkirim dengan lancarnya. Waktu yang aku habiskan untuk sekedar merindui suaranya tidak lebih lama dibanding waktu yang aku habiskan untuk menunggu kepastian.  Siapa yang menyukai ketidakpastian? Tidak ada bukan? Sama sepertiku.
Tak berselang lama aku mendengar ketukan pelan di daun pintu kamarku. Dia yg mengenakan kardigan berwarna pagi yang masih membiru muda dengan menakjubkan, berdiri tepat didepanku saat aku membuka pintu untuk mempersilahkan dia masuk. Rasanya tidak ada kata lain yang bisa aku sebutkan untuk menggambarkan wajahnya yang sendu tanpa make-up itu selain kata cantik, seperti biasanya. Rambut hitam lurusnya tergerai, indah. Serta tubuhnya yang semampai itu mampu membuatku takjub setiap waktu aku memperhatikannya.

***

"Aku harus balik," katanya memecah sebuah sunyi. Suaranya terdengar segan.
"Tapi kamu baru aja sebentar," sanggahku. Aku sudah tidak melihatnya lebih dari dua minggu dan dua jam ini waktu yang sangat kurang untuk membalas kekosongan waktu itu. Aku ingin lebih banyak waktu lagi.
"Tapi ini udah mau maghrib."
Aku menghela nafas. Ya, matahari sudah hampir tidur, pikirku. Lalu ku kecup sedikit ujung bibirnya, ku peluk tubuhnya erat. Seketika aroma tubuhnya yang mampu membuatku makin tidak bisa melepaskannya lagi itu menyeruak. "I love you," kataku pelan.
"I know you didn't meant to said that."
"I meant it."
Gantian dia yang menghela nafas, berat. "You will always be my best man."
The best man ain't enough, batinku refleks menjawab. Tapi alih-alih mengeluarkan kalimat yang sudah ku rangkai itu, aku malah memeluknya lagi.
"Okay. Well.. lagian kamu juga sudah pasti punya..."
"Nggak. Nggak ada," belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotongnya.
"Maaf aku tadi lancang."
"It's okay," dia tersenyum simpul, "kamu juga bukannya lagi deket sama seseorang?" lanjutnya.
"No. There's no someone. It's always you, it's always been you."
Dia menatapku, datar. Lalu beberapa belas detik kemudian dia beranjak dari ubin putih dingin yang dijadikannya alas duduk selama beberapa jam. Dia pamit pulang dan aku memperhatikan punggungnya yang bergerak menjauh di lorong yang agak gelap.

***

Aku tidak pernah meminta apapun selain lebih dari ini. Selain kekecewaanku tentang dia yang akhirnya memilih sahabatku sejak kita duduk di bangku sekolah dan memakai seragam putih biru itu. Berada tak lebih dari posisi ini pun aku sudah cukup bahagia. Pecundang? Bukan. Aku hanya tidak ingin merusak apa yang sudah memberikannya kebahagiaan seperti saat ini.

Selesai, pikirku. Menjadi lelaki terbaik mungkin akan terasa cukup untuk beberapa orang, namun tidak untukku. Aku hanya lelah menjadi pundak sandaran wanita yang aku puja selama beberapa tahun terakhir ini. Aku bosan menjadi seseorang yang selalu ada disaat dia membutuhkanku, sedang akupun hanya sebatas bagai kopi hitam yang tidak diinginkannya lagi saat dingin. Jika cinta sesederhana memberikan hal-hal terbaik dan tidak perlu meminta bahkan mengharapkan sebuah balasan, berapa banyak hal lagi yang harus aku beri hingga keberadaanku nampak di matanya? Entah berapa lama lagi sanggup aku korbankan waktu untuk menatap kepastian kosong. Hatiku tidak berada disini untuk hati yang tidak berada untukku. Tapi dia terlanjur menempati ruang tertinggi, yang pada entah siapa akan aku berikan lagi nanti. Atau, tidak akan pernah aku berikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar