Aku hanya rindu.
Rindu hingga sebuah
pesan singkat yang hampir aku jadikan sebuah draft itu terkirim
dengan lancarnya. Waktu yang aku habiskan untuk sekedar merindui suaranya tidak
lebih lama dibanding waktu yang aku habiskan untuk menunggu kepastian. Siapa yang menyukai ketidakpastian? Tidak ada bukan? Sama
sepertiku.
Tak berselang lama aku mendengar ketukan pelan di daun pintu
kamarku. Dia yg mengenakan kardigan berwarna pagi yang masih membiru muda
dengan menakjubkan, berdiri tepat didepanku saat aku membuka pintu untuk
mempersilahkan dia masuk. Rasanya tidak ada kata lain yang bisa aku sebutkan
untuk menggambarkan wajahnya yang sendu tanpa make-up itu selain kata cantik,
seperti biasanya. Rambut hitam lurusnya tergerai, indah. Serta tubuhnya yang
semampai itu mampu membuatku takjub setiap waktu aku memperhatikannya.
***
"Aku harus
balik," katanya memecah sebuah sunyi. Suaranya terdengar segan.
"Tapi kamu baru aja
sebentar," sanggahku. Aku sudah tidak melihatnya lebih dari dua minggu dan
dua jam ini waktu yang sangat kurang untuk membalas kekosongan waktu itu. Aku
ingin lebih banyak waktu lagi.
"Tapi ini udah mau
maghrib."
Aku menghela nafas. Ya,
matahari sudah hampir tidur, pikirku. Lalu ku kecup sedikit ujung bibirnya, ku
peluk tubuhnya erat. Seketika aroma tubuhnya yang mampu membuatku makin tidak
bisa melepaskannya lagi itu menyeruak. "I love you," kataku pelan.
"I know you didn't
meant to said that."
"I meant it."
Gantian dia yang
menghela nafas, berat. "You will always be my best man."
The best man ain't
enough, batinku refleks
menjawab. Tapi alih-alih mengeluarkan kalimat yang sudah ku rangkai itu, aku
malah memeluknya lagi.
"Okay. Well.. lagian kamu juga sudah pasti punya..."
"Nggak. Nggak
ada," belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotongnya.
"Maaf aku tadi
lancang."
"It's
okay," dia tersenyum simpul, "kamu juga bukannya
lagi deket sama seseorang?" lanjutnya.
"No. There's no
someone. It's always you, it's always been you."
Dia menatapku, datar.
Lalu beberapa belas detik kemudian dia beranjak dari ubin putih dingin yang
dijadikannya alas duduk selama beberapa jam. Dia pamit pulang dan aku
memperhatikan punggungnya yang bergerak menjauh di lorong yang agak gelap.
***
Aku tidak pernah meminta apapun selain lebih dari ini. Selain
kekecewaanku tentang dia yang akhirnya memilih sahabatku sejak kita duduk di
bangku sekolah dan memakai seragam putih biru itu. Berada tak lebih dari posisi
ini pun aku sudah cukup bahagia. Pecundang? Bukan. Aku hanya tidak ingin
merusak apa yang sudah memberikannya kebahagiaan seperti saat ini.
Selesai, pikirku. Menjadi lelaki terbaik mungkin akan terasa cukup
untuk beberapa orang, namun tidak untukku. Aku hanya lelah menjadi pundak
sandaran wanita yang aku puja selama beberapa tahun terakhir ini. Aku bosan
menjadi seseorang yang selalu ada disaat dia membutuhkanku, sedang akupun hanya
sebatas bagai kopi hitam yang tidak diinginkannya lagi saat dingin. Jika cinta
sesederhana memberikan hal-hal terbaik dan tidak perlu meminta bahkan mengharapkan
sebuah balasan, berapa banyak hal lagi yang harus aku beri hingga keberadaanku
nampak di matanya? Entah berapa lama lagi sanggup aku korbankan waktu untuk
menatap kepastian kosong. Hatiku tidak berada disini untuk hati yang tidak
berada untukku. Tapi dia terlanjur menempati ruang tertinggi, yang pada entah
siapa akan aku berikan lagi nanti. Atau, tidak akan pernah aku berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar