Sabtu, 11 Oktober 2014

Tanpa Nama


Silau matahari merembet dari sela-sela tirai kamar. Bisa kucium sisa aroma asap tembakau yang terbakar beberapa jam lalu. Menyeruak di udara dan lengket di permukaan selimut tebal berwarna putih. Pelan-pelan kubuka mata, lamat kuperhatikan sekeliling. Ah, wanita yang semalam kutemukan setengah sadar di kelab malam masih nampak tertidur pulas. Disampingnya tergeletak dua buah dasi berwarna coklat dan biru polos, saksi permainan semalam. Kulihat raut kelelahan di wajahnya, mungkin karena kesulitan setelah mengimbangi gerakan-gerakan tubuhku.
Kuangkat tubuhku dan duduk di tepi kasur berukuran king bed yang berada di tengah-tengah kamar tipe suite. Kukutuki waktu yang masih menunjukkan pukul 6 pagi. Lalu kukutuki diriku sendiri. Kukutuki ubin kamar mandi yang masih saja terasa dingin walaupun air hangat jatuh kian deras diatasnya.
Aku memutuskan pergi lebih awal dari biasanya. Kuperhatikan sekali lagi wajah wanita yang masih tertidur itu. Tidak bisa kupungkiri kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang tersembunyi di balik selimut. Kuletakkan selembar kertas yang telah kutulisi sebuah kata di atas beberapa belas lembar uang di meja sebelah ponselnya yang bergetar.
“Terima kasih.”

***

Seperti setiap kali aku terbangun di sebelah kamar bernuansa putih dan lampu temaram, aku mengutuki diri sendiri sambil duduk di tepi kasur, saksi peraduan semalam sebelum aku membasuh tubuhku yang penuh dengan peluh kering. Kusulut sebatang tembakau, kubuang asap beracunnya ke udara. Samar kucium bau cairan kelaminku bercampur aroma vodka. Pelan aku berjalan ke arah meja di sebelah sisi wanita itu tergeletak kelelahan. Kupandangi wajahnya. Bukan, ia bukan wanita yang sama dengan yang kunikmati tubuhnya minggu lalu. Kukutuki roman wajah blasterannya, rambut hitam berkilaunya, putih bersih kulitnya dengan buah dada yang kencang miliknya. Kukutuki beberapa lembar uang yang kuletakkan rapi bersama secarik kertas bertuliskan “Terima kasih” di atas meja. Kukutuki hari minggu yang tersisa beberapa belas jam lagi sebelum aku harus berkutat di depan monitor, membaca sekian banyak surel berisi penawaran kerjasama. Kukutuki teman-teman seperkuliahanku yang mengenalkan aku pada kehidupan malam macam ini. Kukutuki birahi bercampur amarah yang tiap kali datang jika aku melihat wanita yang mirip dengan wanita yang biasa melenguh dibawah perut ayahku tatkala ibu asik bertemu dengan teman sosialitanya bertahun-tahun yang lalu. Kukutuki matahari yang mulai meninggi. Lalu kukutuki diriku sendiri sebelum aku pergi.

***

Langit di balik jendela besar sudah menghitam pekat sejak tadi. Asbak sudah setengah dipenuhi oleh sisa pembakaran racun penyebab kanker paru-paru. Namun, tidak ada keringat terbuang sama sekali. Wanita disampingku bersandar pada bantal berwarna merah, mengamati tiap lekuk wajahku. Kain di tubuhku masih lengkap membalut, pun di tubuhnya. Tapi mata hitam yang sekelam malam seperti di luar jendela itu seakan menelanjangiku. Kukecup pelan bibirnya yang lembab, dan ia masih tidak bergeming. Hanya senyum dan helaan nafas ringan yang ia keluarkan sedari kuajak masuk ke dalam kamar hotel langgananku ini. Tidak ada keinginan untuk memulai permainan seperti yang biasa aku lakukan. Secara fisik aku sanggup untuk bermain sepanjang malam, namun batinku serasa lelah sudah. Aku hanya membiarkan pikiranku bebas ditelusurinya. Maka aku turuti saja saat ia menyentuh lembut pipi kiriku sambil tersenyum dan menghantarkan kepalaku ke dalam dekapannya dadanya. Rasanya janggal. Semacam perasaan yang hampir seperempat abad tidak aku temukan. Semacam kehausan yang menemukan oase. Ya, aku tidak merasakan nafsu melainkan kenyamanan luar biasa yang tidak pernah aku temukan di dekapan hampir dua lusin wanita yang berhasil aku tiduri. Jantungnya berdetak pelan, teratur. Nafasnya hangat. Kutelusuri lagi galaksi aroma di tengkuknya, kuarahkan pelan tubuhnya dari belakang agar ia dapat dengan leluasanya kupeluk sedang perasaanku semakin tak karuan nyamannya. Dapat kucium aroma pheromone yang berat saat ganti kuarahkan indera penciumanku ke antara dada dan lehernya.
Jatuh cintakah aku? Tidak. Aku tidak pernah percaya pada ilusi fiksi murahan dan menyedihkan semacam itu. Namun ini terasa seperti rumah. Terasa seperti kebingunganku atas beribu pertanyaan akan makna waktu untuk hidup telah menemukan jawaban pada usapan lembut jemarinya di kepalaku.

***

Dering ponsel sentak membangunkanku. Alarm sialan. Kusapukan pandanganku ke sekeliling ruangan setelah berhasil membuat suara berisiknya berhenti. Aku menemukan kekosongan di sisi kananku. Kemana wanita itu? Kudorong tubuhku dengan malas untuk berdiri dan mengecek kamar mandi, berharap menemukannya disana. Namun kamar mandi kosong. Ia taka da dimanapun selain dipikiranku. Hanya tertinggal sebuah ikat rambut berwarna hitam di balik selimut. Tanpa nama, tanpa pesan.

 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar