Silau
matahari merembet dari sela-sela tirai kamar. Bisa kucium sisa aroma asap
tembakau yang terbakar beberapa jam lalu. Menyeruak di udara dan lengket di
permukaan selimut tebal berwarna putih. Pelan-pelan kubuka mata, lamat
kuperhatikan sekeliling. Ah, wanita yang semalam kutemukan setengah sadar di
kelab malam masih nampak tertidur pulas. Disampingnya tergeletak dua buah dasi
berwarna coklat dan biru polos, saksi permainan semalam. Kulihat raut kelelahan
di wajahnya, mungkin karena kesulitan setelah mengimbangi gerakan-gerakan
tubuhku.
Kuangkat
tubuhku dan duduk di tepi kasur berukuran king bed yang berada di tengah-tengah
kamar tipe suite. Kukutuki waktu yang masih menunjukkan pukul 6 pagi. Lalu
kukutuki diriku sendiri. Kukutuki ubin kamar mandi yang masih saja terasa
dingin walaupun air hangat jatuh kian deras diatasnya.
Aku
memutuskan pergi lebih awal dari biasanya. Kuperhatikan sekali lagi wajah
wanita yang masih tertidur itu. Tidak bisa kupungkiri kecantikan dan kemolekan
tubuhnya yang tersembunyi di balik selimut. Kuletakkan selembar kertas
yang telah kutulisi sebuah kata di atas beberapa belas lembar uang di
meja sebelah ponselnya yang bergetar.
“Terima
kasih.”
***
Seperti
setiap kali aku terbangun di sebelah kamar bernuansa putih dan lampu temaram,
aku mengutuki diri sendiri sambil duduk di tepi kasur, saksi peraduan semalam
sebelum aku membasuh tubuhku yang penuh dengan peluh kering. Kusulut sebatang
tembakau, kubuang asap beracunnya ke udara. Samar
kucium bau cairan kelaminku bercampur aroma vodka. Pelan aku berjalan ke arah
meja di sebelah sisi wanita itu tergeletak kelelahan. Kupandangi wajahnya.
Bukan, ia bukan wanita yang sama dengan yang kunikmati tubuhnya minggu lalu.
Kukutuki roman wajah blasterannya, rambut hitam berkilaunya, putih bersih
kulitnya dengan buah dada yang kencang miliknya. Kukutuki beberapa lembar uang
yang kuletakkan rapi bersama secarik kertas bertuliskan “Terima kasih” di atas
meja. Kukutuki hari minggu yang tersisa beberapa belas jam lagi sebelum
aku harus berkutat di depan monitor, membaca sekian banyak surel berisi
penawaran kerjasama. Kukutuki teman-teman seperkuliahanku yang mengenalkan aku
pada kehidupan malam macam ini. Kukutuki birahi bercampur amarah yang tiap kali
datang jika aku melihat wanita yang mirip dengan wanita yang biasa melenguh
dibawah perut ayahku tatkala ibu asik bertemu dengan teman
sosialitanya bertahun-tahun yang lalu. Kukutuki matahari yang mulai
meninggi. Lalu kukutuki diriku sendiri sebelum aku pergi.
***
Langit
di balik jendela besar sudah menghitam pekat sejak tadi. Asbak sudah setengah
dipenuhi oleh sisa pembakaran racun penyebab kanker paru-paru. Namun, tidak ada
keringat terbuang sama sekali. Wanita disampingku bersandar pada bantal
berwarna merah, mengamati tiap lekuk wajahku. Kain di tubuhku masih lengkap
membalut, pun di tubuhnya. Tapi mata hitam yang sekelam malam seperti di luar
jendela itu seakan menelanjangiku. Kukecup pelan bibirnya yang lembab, dan ia
masih tidak bergeming. Hanya senyum dan helaan nafas ringan yang ia keluarkan
sedari kuajak masuk ke dalam kamar hotel langgananku ini. Tidak ada keinginan
untuk memulai permainan seperti yang biasa aku lakukan. Secara fisik aku
sanggup untuk bermain sepanjang malam, namun batinku serasa lelah sudah. Aku
hanya membiarkan pikiranku bebas ditelusurinya. Maka aku turuti saja saat ia
menyentuh lembut pipi kiriku sambil tersenyum dan menghantarkan kepalaku ke
dalam dekapannya dadanya. Rasanya janggal. Semacam perasaan yang hampir
seperempat abad tidak aku temukan. Semacam kehausan yang menemukan
oase. Ya, aku tidak merasakan nafsu melainkan kenyamanan luar biasa yang
tidak pernah aku temukan di dekapan hampir dua lusin wanita yang berhasil aku
tiduri. Jantungnya berdetak pelan, teratur. Nafasnya hangat. Kutelusuri
lagi galaksi aroma di tengkuknya, kuarahkan pelan tubuhnya dari belakang agar
ia dapat dengan leluasanya kupeluk sedang perasaanku semakin tak karuan
nyamannya. Dapat kucium aroma pheromone yang berat
saat ganti kuarahkan indera penciumanku ke antara dada dan lehernya.
Jatuh
cintakah aku? Tidak. Aku tidak pernah percaya pada ilusi fiksi murahan dan
menyedihkan semacam itu. Namun ini terasa seperti rumah. Terasa seperti
kebingunganku atas beribu pertanyaan akan makna waktu untuk hidup telah
menemukan jawaban pada usapan lembut jemarinya di kepalaku.
***
Dering
ponsel sentak membangunkanku. Alarm sialan. Kusapukan pandanganku ke sekeliling
ruangan setelah berhasil membuat suara berisiknya berhenti. Aku menemukan
kekosongan di sisi kananku. Kemana wanita itu? Kudorong tubuhku dengan malas
untuk berdiri dan mengecek kamar mandi, berharap menemukannya disana. Namun
kamar mandi kosong. Ia taka da dimanapun selain dipikiranku. Hanya tertinggal
sebuah ikat rambut berwarna hitam di balik selimut. Tanpa nama, tanpa pesan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar