Kamis, 02 Oktober 2014

Sebuah Kebetulan

Mereka menyebutnya sebagai sebuah kebetulan.
Kebetulan bahwa kita bertemu saat kering kemarau sudah diganti oleh lembabnya angin barat. Kebetulan bahwa kita memakai warna baju yang serupa. Kebetulan bahwa hati kita sedang sama-sama terpecah belah dengan menyedihkannya.
Mereka juga menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki satu tujuan yang sama setelah bertemu, sebagai kebetulan juga.
“Aku kebetulan juga mau pergi ke sana.”
Mereka menyebutkan segala definisi dari takdir yang belum mereka sadari pasti terjadi, sebagai sebuah kebetulan.
Kebetulan. Kebetulan.

Mereka masih menuhankan sebuah keegoisan pola pikir dan mengacuhkan kebalikan dari sebuah kebetulan. Mereka masih melafalkan sebuah kebetulan untuk menutupi pertemuan dibalik pengharapan yang ditutup-tutupi. Kebetulan bahwa ada sebuah pertemuan menjadi ada. Kebetulan bahwa seseorang menyebutkan “aku menyukaimu”, dan seseorang lain mungkin membalasnya dengan “aku juga”.

Tidakkah kau berfikir sedikitpun bahwa kebetulan itu hanya fiksi? Ilusi yang kita ciptakan karena pikiran kita belum mampu untuk memilih kebenaran bahwa semua itu tidak pantas disebut dengan sebuah kebetulan, melainkan takdir. Tidak ada hal yang benar-benar kebetulan. Semua itu hanyalah takdir yang terdistraksi di dalam pikiran. Semua sudah berada benar di jalannya. Semua sudah berada tepat di poros dan alur cerita. Takdir bahwa kita harus bertemu di bawah langit yang telah berubah pekat. Bahwa kita akan menjadi rusak, berantakan, hancur, saat plot cerita mempertemukan kita. Bahwa kita akan saling menemukan orang lain yang berada dalam titik paling tinggi di posisi pengharapan.

Kebetulan itu tidak ada. Bahkan saat kau atau aku mengucap “ah, mungkin itu hanya kebetulan.” Semua memang karena sudah waktu dan jalannya. Kebetulan tidak pernah menjadi sebuah kebetulan. Kebetulan hanyalah takdir yang muncul sebagai sebuah hasil pemikiran alam bawah sadar yang paling kau kehendaki untuk terjadi. Kebetulan hanyalah takdir yang terkikis maknanya karena kau secara tidak sadar menolak eksistensi dari sebuah takdir. Ketidaksengajaan itu hanyalah kenyataan yang ingin kau hadiahkan untuk dirimu sendiri.


Jadi, sampai kapan kau akan membohongi pikiranmu sendiri akan pertemuan aku-kau atau kau-dia-mereka sebagai sebuah peralihan dari ketidaknyataan ilusimu yang kerap kali kau kecap sebagai kebetulan?

2 komentar:

  1. Kebetulan salah satu cara kita menyangkal takdir, sebuah hasil dari rasa takut akan pengharapan mungkin.

    BalasHapus