“Jatuh cinta gih, biar bahagia.”
Kalimat yang ditujukan padaku lewat mention sebuah
akun social media oleh seorang followers yang entah siapa, berhasil membuatku
memicingkan mata lalu tersenyum kecut. Bukan, tersenyum meledek lebih tepatnya.
Ya, meledek diriku sendiri dan orang-orang yang tengah mabuk karena satu kata
yang tidak berwujud itu.
Fiksi. Mimpi. Abstrak. Kosong.
Cinta.
Aku lupa bagaimana rasanya tergila-gila dengan rupa
lawan jenis yang mungkin dapat membuatku lemah dihadapan egoku sendiri. Aku
lupa bagaimana rasanya merasakan hormon endorphin bertumpah ruah saat seseorang
yang aku sukai melayangkan senyumnya. Aku lupa bagaimana rasanya saat kulit
pipiku menghangat karena satu rasa yang menyeruak ketika mata seseorang
bertabrakan dengan mataku. Aku lupa bagaimana rasanya segaris senyum mengembang
di bibirku dengan suksesnya setelah seseorang membuat organ pemompa darah di
dalam tubuhku bekerja dengan kecepatan dua kali lipat, ada di hadapanku.
Aku lupa. Atau aku sebenarnya hanya pura-pura lupa saja.
Ini bukan berarti aku tidak bahagia. Hidupku
baik-baik saja. Sungguh. Aku hanya lupa bagaimana rasanya saat hal tidak nyata
itu membuatku girang hanya dengan membaca sebuah pesan teks di layar ponselku.
Aku lupa bagaimana rasanya menemukan hal serupa dalam diri seseorang yang aku
yakini sebagai pemilik separuh hatiku. Aku lupa bagaimana rasanya ketika dengan
mudahnya aku berkorban mengatasnamakan sesuatu yang kerap kali datang tanpa
undangan atau peringatan terlebih dahulu. Aku lupa bagaimana rasanya menyerahkan
diri dalam pengharapan, kebersamaan, keinginan yang jadi satu, dan serunya
ketidakpastian.
Aku lupa rasanya jatuh cinta.
Sampai akhirnya dia membuka pintu café 24 jam itu di
Kamis berawan. Dia yang melangkah masuk dengan tangan yang kemudian
diarahkannya ke antara kedua matanya, memperbaiki letak kacamatanya yang agak
miring.
Kini, aku mulai ingat bagaimana rasanya.
kenapa kita harus jatuh cinta?, tanpa cinta seseorang pun bisa bersama kan?
BalasHapus