Minggu, 14 Juni 2015

Aku Rindu, Ucapnya

"aku kangen kamu."


***


Lucu adalah ketika kau menemukan sebuah pesan singkat muncul di layar smartphone milikmu dengan nama seseorang yang tak asing berisi kalimat rindu sementara ia sedang sibuk merencanakan akhir pekan yang istimewa dengan orang asing lain yang dipikirnya berpotensial menjadi orang istimewa juga; hal yang akhirnya aku temukan setelah kau dan aku beranjak tak lagi menjadi kita yang utuh. Setelah aku sadar sudah semilyar menit aku habiskan untuk membuatmu betah berlama-lama untuk berada dalam lingkup prosaku.

Tidak, aku tidak mencoba membencimu setelahnya. Mungkin aku hanya tidak bisa mengerti dari sudut pandangmu bahwa kau sebenarnya tidak menginginkan kita, tidak menginginkan hubungan yang biasa-biasa saja bersamaku. Atau mungkin aku hanya kurang paham bahwa sifat liar seseorang tidaklah bisa dijinakkan begitu saja walaupun dengan kesungguhan.

Begitu banyak ketidak-mengertian yang aku simpulkan. Tapi, aku yakin hal-hal itu hanyalah karena aku yang kurang cukup membuatmu bahagia untuk sekedar berlama-lama tinggal, karena mencoba mengingatkanmu akan segala lembar gambar perjalanan kita adalah hal yang sangat sia-sia.

Tidak, aku pun tidak begitu saja akan berhenti mencintaimu seperti kau yang dengan luar biasanya menuliskan itu sebagai jawaban dari rasa penasaran manusia-manusia ingin tahu di sekitarmu; berusaha mendapatkan pengakuan bahwa kau sudah sepenuhnya pulih dari kesakitan-kesakitan yang kau ciptakan sendiri – yang kau limpahkan padaku tentunya.

Tidak, tidak juga aku mendoakanmu dengan doa buruk yang kau pun tidak akan bisa menduganya. Tidak juga aku menceritakan keburukanmu pada mereka-mereka yang seperti singa, lapar akan cerita perselisihan kita selayaknya hal itu adalah daging rusa mentah. Setidaknya kau bisa bernafas karena bukan aku yang mengikatkan tali jerat pada tenggorokan kita, melainkan dirimu sendiri.

Aku hanya tidak mengerti akar yang bersemayam di pikiran-pikiran picikmu itu, yang aku yakini tidak seorangpun yang mengerti juga. Aku juga tidak mengerti pergulatan bodoh apa yang sedang logika dan keinginan bawah sadarku sedang lakukan, karena jelaslah aku masih membiarkan kau menggambar lebih banyak luka lagi.


Hingga hari ini.


Selasa, 21 April 2015

Masa Lalu


Untukmu, yang tidak percaya dengan omong kosong dan kematian kebebasan
yang kerap kali mereka sebut dengan pernikahan


***

Hari itu Masa berada di garis pemisah antara laut dan pasir yang diciptakan buih-buih ombak. Sedang langit asyik bercengkrama sendiri, memuncratkan semburat nila dan warna bata karena penerangan langit malam sudah berebut untuk waktu munculnya.

"Bangsat," lirihnya pelan. Ia ingin berteriak pada garam-garam yang lengket di udara. Dibaliknya posisi topi berwarna pagi yang sedari tadi menutup tengkuknya, kini ditariknya hingga menutupi sebagian dahi.
"Kau hanya sekedar membuang-buang waktu saja atau benar-benar menikmati senja?"
"Aku tidak suka senja," Masa sama sekali tidak memalingkan wajahnya kearah pemilik suara yang tidak ada kerjaan menyapanya di tempat seperti ini.
"Namaku Lalu," sapanya lagi.
Kali ini Masa menoleh dan menemukan seorang perempuan berambut warna langit pukul tujuh berdiri tegap di sampingnya.
"Kau percaya dengan pernikahan, orang asing?"
Garis di dahi Masa berkerut sebentar. "Kenapa tidak?"
Lalu tertawa. Tawanya tertelan berisik ombak di detik kedua.
"Bagaimana denganmu, kau percaya dengan pernikahan?"
"Hmm?" Lalu menarik otot wajahnya untuk menciptakan senyum. "Tidak," lanjutnya.
"Kau pasti punya alasan bagus untuk itu."
"Menurutmu? Aku tidak percaya dengan selembar kertas yang ditandatangani dan buku kecil yang distempel oleh seseorang berjabatan penghulu ataupun apalah urusan hukum itu. Dan sebelumnya ada kemungkinan yang menganga lebar bahwa kau tidak berakhir dengan orang yang seharusnya bersamamu, bukan?"
Kerutan di dahi Masa makin menjadi. Gila, pikirnya.
"Aku melihat banyak orang yang masih saja mencari permainan semalam disaat mereka memiliki seribu malam permainan dengan orang yang telah disumpahnya sehidup semati. Aku rasa semua orang akan berada di titik amoral itu."
"Menarik."
"Kau sudah menikah?"
"Pernikahanku yang seharusnya lusa, batal karena tunanganku kembali dengan kekasih lamanya."
"Dan kau masih percaya dengan pernikahan?"
"Kenapa tidak?"
"Menarik."
"Aku hanya tidak munafik bahwa aku akan membutuhkan seseorang."
"Aku juga bukan seorang munafik. Aku hanya tidak mengerti tentang gagasan makhluk paling cerdas seperti manusia untuk menghabiskan waktunya hanya untuk bersama satu orang dengan satu kegiatan. Menikah. Memiliki monster kecil yang keluar dari liang tempat di mana kau pernah meletakkan kelaminmu. Kemudian mencari pembenaran atas rasa bosan setelahnya di dalam kamar hotel bersama pemuas-pemuas nafsu berbayar. Dan juga omong kosong yang mereka katakan setelah rahasianya terbongkar, demi menjaga satu tempat tinggal yang akan terasa seperti tempat sampah."
"Dan kenapa kau berbicara ini denganku?" Masa memotong kalimat Lalu. Pikirannya kosong sudah.
"Aku menyukai bicara dengan orang asing. Karena orang asing tidak bisa menilai," Lalu menghela nafasnya sebentar. Wajah dan rambut malamnya lengket oleh angin laut yang berpasir.
"Lanjutkan."
Lalu tertawa kecil. "Pernikahan itu adalah kematian idealisme, orang asing. Kematian kebebasan. Kematian ego. Kematian liberalisme dan kreatifitas. Kematian pikiran liar. Kuburan atas mimpi-mimpi. Lalu mereka sebut sebagai tujuan cinta dan orang yang kau cintai berakhir seharusnya. Benar-benar omong kosong."
Masa tidak berbicara lagi, pun Lalu. Pikirannya tersapu suara gesekan pohon pinus dibelakangnya. Disilangkan tangannya dan dihirupnya udara lamat-lamat. Sedang Lalu merentangkan tangannya, entah untuk meregangkan otot atau hanya membiarkan angin berlari di pori-pori tubuhnya. Kakinya menjauh perlahan.
"Mau ke mana kamu?"
Lalu berhenti untuk melihat Masa yang masih membiarkan kaki telanjangnya diguyur ombak. "Mempersiapkan diri untuk pemberkatanku dan kekasihku besok pagi."
Untuk terkahir kalinya, dahi Masa berkerut di balik topinya.
"Ya, besok aku akan menikah, orang asing," lanjunya di sela-sela sungging bibirnya. Lalu berjalan lagi sampai di titik mata Masa tidak dapat menemukannya.

Senin, 02 Maret 2015

Kardigan Berwarna Pagi

Aku hanya rindu. Rindu hingga sebuah pesan singkat yang hampir aku jadikan sebuah draft itu terkirim dengan lancarnya. Waktu yang aku habiskan untuk sekedar merindui suaranya tidak lebih lama dibanding waktu yang aku habiskan untuk menunggu kepastian.  Siapa yang menyukai ketidakpastian? Tidak ada bukan? Sama sepertiku.
Tak berselang lama aku mendengar ketukan pelan di daun pintu kamarku. Dia yg mengenakan kardigan berwarna pagi yang masih membiru muda dengan menakjubkan, berdiri tepat didepanku saat aku membuka pintu untuk mempersilahkan dia masuk. Rasanya tidak ada kata lain yang bisa aku sebutkan untuk menggambarkan wajahnya yang sendu tanpa make-up itu selain kata cantik, seperti biasanya. Rambut hitam lurusnya tergerai, indah. Serta tubuhnya yang semampai itu mampu membuatku takjub setiap waktu aku memperhatikannya.

***

"Aku harus balik," katanya memecah sebuah sunyi. Suaranya terdengar segan.
"Tapi kamu baru aja sebentar," sanggahku. Aku sudah tidak melihatnya lebih dari dua minggu dan dua jam ini waktu yang sangat kurang untuk membalas kekosongan waktu itu. Aku ingin lebih banyak waktu lagi.
"Tapi ini udah mau maghrib."
Aku menghela nafas. Ya, matahari sudah hampir tidur, pikirku. Lalu ku kecup sedikit ujung bibirnya, ku peluk tubuhnya erat. Seketika aroma tubuhnya yang mampu membuatku makin tidak bisa melepaskannya lagi itu menyeruak. "I love you," kataku pelan.
"I know you didn't meant to said that."
"I meant it."
Gantian dia yang menghela nafas, berat. "You will always be my best man."
The best man ain't enough, batinku refleks menjawab. Tapi alih-alih mengeluarkan kalimat yang sudah ku rangkai itu, aku malah memeluknya lagi.
"Okay. Well.. lagian kamu juga sudah pasti punya..."
"Nggak. Nggak ada," belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dia sudah memotongnya.
"Maaf aku tadi lancang."
"It's okay," dia tersenyum simpul, "kamu juga bukannya lagi deket sama seseorang?" lanjutnya.
"No. There's no someone. It's always you, it's always been you."
Dia menatapku, datar. Lalu beberapa belas detik kemudian dia beranjak dari ubin putih dingin yang dijadikannya alas duduk selama beberapa jam. Dia pamit pulang dan aku memperhatikan punggungnya yang bergerak menjauh di lorong yang agak gelap.

***

Aku tidak pernah meminta apapun selain lebih dari ini. Selain kekecewaanku tentang dia yang akhirnya memilih sahabatku sejak kita duduk di bangku sekolah dan memakai seragam putih biru itu. Berada tak lebih dari posisi ini pun aku sudah cukup bahagia. Pecundang? Bukan. Aku hanya tidak ingin merusak apa yang sudah memberikannya kebahagiaan seperti saat ini.

Selesai, pikirku. Menjadi lelaki terbaik mungkin akan terasa cukup untuk beberapa orang, namun tidak untukku. Aku hanya lelah menjadi pundak sandaran wanita yang aku puja selama beberapa tahun terakhir ini. Aku bosan menjadi seseorang yang selalu ada disaat dia membutuhkanku, sedang akupun hanya sebatas bagai kopi hitam yang tidak diinginkannya lagi saat dingin. Jika cinta sesederhana memberikan hal-hal terbaik dan tidak perlu meminta bahkan mengharapkan sebuah balasan, berapa banyak hal lagi yang harus aku beri hingga keberadaanku nampak di matanya? Entah berapa lama lagi sanggup aku korbankan waktu untuk menatap kepastian kosong. Hatiku tidak berada disini untuk hati yang tidak berada untukku. Tapi dia terlanjur menempati ruang tertinggi, yang pada entah siapa akan aku berikan lagi nanti. Atau, tidak akan pernah aku berikan.

Sabtu, 11 Oktober 2014

Tanpa Nama


Silau matahari merembet dari sela-sela tirai kamar. Bisa kucium sisa aroma asap tembakau yang terbakar beberapa jam lalu. Menyeruak di udara dan lengket di permukaan selimut tebal berwarna putih. Pelan-pelan kubuka mata, lamat kuperhatikan sekeliling. Ah, wanita yang semalam kutemukan setengah sadar di kelab malam masih nampak tertidur pulas. Disampingnya tergeletak dua buah dasi berwarna coklat dan biru polos, saksi permainan semalam. Kulihat raut kelelahan di wajahnya, mungkin karena kesulitan setelah mengimbangi gerakan-gerakan tubuhku.
Kuangkat tubuhku dan duduk di tepi kasur berukuran king bed yang berada di tengah-tengah kamar tipe suite. Kukutuki waktu yang masih menunjukkan pukul 6 pagi. Lalu kukutuki diriku sendiri. Kukutuki ubin kamar mandi yang masih saja terasa dingin walaupun air hangat jatuh kian deras diatasnya.
Aku memutuskan pergi lebih awal dari biasanya. Kuperhatikan sekali lagi wajah wanita yang masih tertidur itu. Tidak bisa kupungkiri kecantikan dan kemolekan tubuhnya yang tersembunyi di balik selimut. Kuletakkan selembar kertas yang telah kutulisi sebuah kata di atas beberapa belas lembar uang di meja sebelah ponselnya yang bergetar.
“Terima kasih.”

***

Seperti setiap kali aku terbangun di sebelah kamar bernuansa putih dan lampu temaram, aku mengutuki diri sendiri sambil duduk di tepi kasur, saksi peraduan semalam sebelum aku membasuh tubuhku yang penuh dengan peluh kering. Kusulut sebatang tembakau, kubuang asap beracunnya ke udara. Samar kucium bau cairan kelaminku bercampur aroma vodka. Pelan aku berjalan ke arah meja di sebelah sisi wanita itu tergeletak kelelahan. Kupandangi wajahnya. Bukan, ia bukan wanita yang sama dengan yang kunikmati tubuhnya minggu lalu. Kukutuki roman wajah blasterannya, rambut hitam berkilaunya, putih bersih kulitnya dengan buah dada yang kencang miliknya. Kukutuki beberapa lembar uang yang kuletakkan rapi bersama secarik kertas bertuliskan “Terima kasih” di atas meja. Kukutuki hari minggu yang tersisa beberapa belas jam lagi sebelum aku harus berkutat di depan monitor, membaca sekian banyak surel berisi penawaran kerjasama. Kukutuki teman-teman seperkuliahanku yang mengenalkan aku pada kehidupan malam macam ini. Kukutuki birahi bercampur amarah yang tiap kali datang jika aku melihat wanita yang mirip dengan wanita yang biasa melenguh dibawah perut ayahku tatkala ibu asik bertemu dengan teman sosialitanya bertahun-tahun yang lalu. Kukutuki matahari yang mulai meninggi. Lalu kukutuki diriku sendiri sebelum aku pergi.

***

Langit di balik jendela besar sudah menghitam pekat sejak tadi. Asbak sudah setengah dipenuhi oleh sisa pembakaran racun penyebab kanker paru-paru. Namun, tidak ada keringat terbuang sama sekali. Wanita disampingku bersandar pada bantal berwarna merah, mengamati tiap lekuk wajahku. Kain di tubuhku masih lengkap membalut, pun di tubuhnya. Tapi mata hitam yang sekelam malam seperti di luar jendela itu seakan menelanjangiku. Kukecup pelan bibirnya yang lembab, dan ia masih tidak bergeming. Hanya senyum dan helaan nafas ringan yang ia keluarkan sedari kuajak masuk ke dalam kamar hotel langgananku ini. Tidak ada keinginan untuk memulai permainan seperti yang biasa aku lakukan. Secara fisik aku sanggup untuk bermain sepanjang malam, namun batinku serasa lelah sudah. Aku hanya membiarkan pikiranku bebas ditelusurinya. Maka aku turuti saja saat ia menyentuh lembut pipi kiriku sambil tersenyum dan menghantarkan kepalaku ke dalam dekapannya dadanya. Rasanya janggal. Semacam perasaan yang hampir seperempat abad tidak aku temukan. Semacam kehausan yang menemukan oase. Ya, aku tidak merasakan nafsu melainkan kenyamanan luar biasa yang tidak pernah aku temukan di dekapan hampir dua lusin wanita yang berhasil aku tiduri. Jantungnya berdetak pelan, teratur. Nafasnya hangat. Kutelusuri lagi galaksi aroma di tengkuknya, kuarahkan pelan tubuhnya dari belakang agar ia dapat dengan leluasanya kupeluk sedang perasaanku semakin tak karuan nyamannya. Dapat kucium aroma pheromone yang berat saat ganti kuarahkan indera penciumanku ke antara dada dan lehernya.
Jatuh cintakah aku? Tidak. Aku tidak pernah percaya pada ilusi fiksi murahan dan menyedihkan semacam itu. Namun ini terasa seperti rumah. Terasa seperti kebingunganku atas beribu pertanyaan akan makna waktu untuk hidup telah menemukan jawaban pada usapan lembut jemarinya di kepalaku.

***

Dering ponsel sentak membangunkanku. Alarm sialan. Kusapukan pandanganku ke sekeliling ruangan setelah berhasil membuat suara berisiknya berhenti. Aku menemukan kekosongan di sisi kananku. Kemana wanita itu? Kudorong tubuhku dengan malas untuk berdiri dan mengecek kamar mandi, berharap menemukannya disana. Namun kamar mandi kosong. Ia taka da dimanapun selain dipikiranku. Hanya tertinggal sebuah ikat rambut berwarna hitam di balik selimut. Tanpa nama, tanpa pesan.

 ***

Minggu, 05 Oktober 2014

Kamis Berawan

“Jatuh cinta gih, biar bahagia.”

Kalimat yang ditujukan padaku lewat mention sebuah akun social media oleh seorang followers yang entah siapa, berhasil membuatku memicingkan mata lalu tersenyum kecut. Bukan, tersenyum meledek lebih tepatnya. Ya, meledek diriku sendiri dan orang-orang yang tengah mabuk karena satu kata yang tidak berwujud itu.
Fiksi. Mimpi. Abstrak. Kosong.
Cinta.

Aku lupa bagaimana rasanya tergila-gila dengan rupa lawan jenis yang mungkin dapat membuatku lemah dihadapan egoku sendiri. Aku lupa bagaimana rasanya merasakan hormon endorphin bertumpah ruah saat seseorang yang aku sukai melayangkan senyumnya. Aku lupa bagaimana rasanya saat kulit pipiku menghangat karena satu rasa yang menyeruak ketika mata seseorang bertabrakan dengan mataku. Aku lupa bagaimana rasanya segaris senyum mengembang di bibirku dengan suksesnya setelah seseorang membuat organ pemompa darah di dalam tubuhku bekerja dengan kecepatan dua kali lipat, ada di hadapanku.
Aku lupa. Atau aku sebenarnya hanya pura-pura lupa saja.

Ini bukan berarti aku tidak bahagia. Hidupku baik-baik saja. Sungguh. Aku hanya lupa bagaimana rasanya saat hal tidak nyata itu membuatku girang hanya dengan membaca sebuah pesan teks di layar ponselku. Aku lupa bagaimana rasanya menemukan hal serupa dalam diri seseorang yang aku yakini sebagai pemilik separuh hatiku. Aku lupa bagaimana rasanya ketika dengan mudahnya aku berkorban mengatasnamakan sesuatu yang kerap kali datang tanpa undangan atau peringatan terlebih dahulu. Aku lupa bagaimana rasanya menyerahkan diri dalam pengharapan, kebersamaan, keinginan yang jadi satu, dan serunya ketidakpastian.
Aku lupa rasanya jatuh cinta.
­­­
Sampai akhirnya dia membuka pintu café 24 jam itu di Kamis berawan. Dia yang melangkah masuk dengan tangan yang kemudian diarahkannya ke antara kedua matanya, memperbaiki letak kacamatanya yang agak miring.

Kini, aku mulai ingat bagaimana rasanya.

Kamis, 02 Oktober 2014

Sebuah Kebetulan

Mereka menyebutnya sebagai sebuah kebetulan.
Kebetulan bahwa kita bertemu saat kering kemarau sudah diganti oleh lembabnya angin barat. Kebetulan bahwa kita memakai warna baju yang serupa. Kebetulan bahwa hati kita sedang sama-sama terpecah belah dengan menyedihkannya.
Mereka juga menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki satu tujuan yang sama setelah bertemu, sebagai kebetulan juga.
“Aku kebetulan juga mau pergi ke sana.”
Mereka menyebutkan segala definisi dari takdir yang belum mereka sadari pasti terjadi, sebagai sebuah kebetulan.
Kebetulan. Kebetulan.

Mereka masih menuhankan sebuah keegoisan pola pikir dan mengacuhkan kebalikan dari sebuah kebetulan. Mereka masih melafalkan sebuah kebetulan untuk menutupi pertemuan dibalik pengharapan yang ditutup-tutupi. Kebetulan bahwa ada sebuah pertemuan menjadi ada. Kebetulan bahwa seseorang menyebutkan “aku menyukaimu”, dan seseorang lain mungkin membalasnya dengan “aku juga”.

Tidakkah kau berfikir sedikitpun bahwa kebetulan itu hanya fiksi? Ilusi yang kita ciptakan karena pikiran kita belum mampu untuk memilih kebenaran bahwa semua itu tidak pantas disebut dengan sebuah kebetulan, melainkan takdir. Tidak ada hal yang benar-benar kebetulan. Semua itu hanyalah takdir yang terdistraksi di dalam pikiran. Semua sudah berada benar di jalannya. Semua sudah berada tepat di poros dan alur cerita. Takdir bahwa kita harus bertemu di bawah langit yang telah berubah pekat. Bahwa kita akan menjadi rusak, berantakan, hancur, saat plot cerita mempertemukan kita. Bahwa kita akan saling menemukan orang lain yang berada dalam titik paling tinggi di posisi pengharapan.

Kebetulan itu tidak ada. Bahkan saat kau atau aku mengucap “ah, mungkin itu hanya kebetulan.” Semua memang karena sudah waktu dan jalannya. Kebetulan tidak pernah menjadi sebuah kebetulan. Kebetulan hanyalah takdir yang muncul sebagai sebuah hasil pemikiran alam bawah sadar yang paling kau kehendaki untuk terjadi. Kebetulan hanyalah takdir yang terkikis maknanya karena kau secara tidak sadar menolak eksistensi dari sebuah takdir. Ketidaksengajaan itu hanyalah kenyataan yang ingin kau hadiahkan untuk dirimu sendiri.


Jadi, sampai kapan kau akan membohongi pikiranmu sendiri akan pertemuan aku-kau atau kau-dia-mereka sebagai sebuah peralihan dari ketidaknyataan ilusimu yang kerap kali kau kecap sebagai kebetulan?

Selasa, 15 Juli 2014

Cinta Dengan Tanda Tanya




Udara Jogja malam ini dingin. Biasanya tidak pernah sedingin ini. “Tumben”, pikirku. Pendingin ruangan sudah aku matikan sejak pagi. Bibir jendela kamar serasa sudah muak aku pandangi berjam-jam lamanya. Tidak, aku tidak melamun. Pikiranku hanya sedang buntu. Hingga saat ini, aku belum menemukan ujung maupun awalnya. Terlalu menggulung, kusut, rumit.
Masih jelas ingatan di benang-benang pikiranku, saat gadis berambut panjang pergi dari hadapanku dengan cermin air di matanya. Memori itu melekat seperti habis dioles dengan lem besi. Kuat.
Ah, bodoh.
Ku sulut satu batang berisi nikotin dan tar, kuhisap lalu kuhembuskan dalam-dalam.

***

Rara saat ini ada disampingku, memakai gaun berwarna pastel merah jambu dengan rambut gelombang berwarna ginger yang dibiarkan terurai. Dia cantik, sempurna, pikirku. Kedua tangannya saling mengait dan tatapannya lurus kedepan, khidmat memperhatikan pastur berbicara di depan altar. Tidak ada tempat yang lebih baik yang aku inginkan selain disamping perempuan yang sanggup membuat organ pemompa darah menjadi tak stabil. Aku sungguh menyukainya. Tidak, tergila-gila malah. Perlahan dia menoleh kearahku dan tersenyum bingung.
"Kenapa kamu merhatiin aku sebegitunya sih, Adit?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat, malu. Aku yakin di pipiku saat ini sedang ada semburat warna merah.
"Nggak apa-apa. Kamu cuma...cantik banget, Ra."
Rara tertawa kecil melihatku yang tiba-tiba canggung. Dia kembali membentangkan pandangannya ke depan sedangkan aku kembali menciptakan ilusi-ilusi dan pikiran di dunia egoku sendiri.
Satu persatu wujud seorang perempuan manis muncul dipikiranku, entah darimana. Awalnya samar, lalu makin jelas. Dia, Aura. Pelan-pelan pikiranku bergulat dengan perbandingan antara Aura dengan Rara. Mereka tidak jauh berbeda. Hanya saja,  semesta selalu bertindak di luar kendali manusia. Aku mencintai Aura. Aku mencintai Rara. Namun, apa yang aku tahu tentang cinta? Ya, cinta—perdebatan dari zaman Plato hingga kini yang tak pernah ada habisnya.
Ya, aku mencintai perempuan yang sedang berdoa di sampingku ini. Sementara di luar sana, ada perempuan yang memberikan segala cinta yang aku butuhkan. Namun, aku tak bisa memberikan apa yang ia butuhkan.
Ironis? Entahlah, tapi perasaan memang tidak pernah sederhana.
Aku kira aku cukup mengerti tentang gagasan cinta. Namun, setelahnya aku sadar bahwa aku hanyalah pura-pura mengerti untuk menyembunyikan ketidaktahuanku. Tapi jika cinta hanya berbatas tentang dua orang yang saling mencintai dan cinta mereka sama besarnya tanpa terhalang suatu apapun, maka itu bukan cinta. Itu hanya perasaan-perasaan temporer—tidak abadi—yang berlindung di balik sebuah idealisme akan sakit dan bahagia disaat yang bersamaan.
Cinta?

***

Menjadi bahagia itu sederhana. Sesederhana merelakan kalung kesayanganmu hilang ditelan lautan saat kau bermain dengan ombak.
Tidak ada pertaruhan tanpa resiko. Dan untuk jatuh cinta adalah pertaruhan yang paling agung.
Kata mereka, dalam hidup, kita harus bertemu dengan dua orang.
Pertama, orang yang kau cintai tapi tidak mencintaimu. Namun, hal itu bukan berarti ada sesuatu yang salah padamu atau Tuhan sedang membuatkanmu skenario kejam. Kau hanya sedang diberikan kesempatan untuk terlatih mengenal rasa sakit yang abstrak dan tajam, merelakan, lalu bangkit lagi.
Kedua, orang yang mencintaimu namun kau tidak mencintainya. Darinya, kau akan belajar bahwa dicintai sebanyak itu adalah anugerah. Dan bahwa merasa bahagia itu sederhana; merasa dihargai. Darinya, kau akan belajar bahwa kau tidak bisa memilih seseorang berdasarkan belas kasihan.
Sekarang, bayangkan kau menjadi aku, mana yang akan kau pilih? Membiarkan dirimu bersama orang yang mencintaimu namun kau tidak bisa bahagia bersamanya, atau bersama dengan orang yang kau cintai namun memberikanmu kebahagiaan tunggal?
Hidup kadang sederhana pula, pilihan-pilihannya lah yang membuatnya menjadi sulit. Dan saat ini aku hanya membiarkan diriku sendiri menjemput pahit dan getir kebimbangan.

Cinta? Cinta.